Fakta Pertanian di Indonesia

Oktober 11, 2018

Sebutan Indonesia sebagai negara agraris rupanya belum mampu mendorong kesejahteraan petani. Seperti yang kita ketahui bahwasanya pertanian di Indonesia itu adalah sebuah mayoritas, mungkin semakin lama semakin tidak ada (mungkin), kali ini Kami akan mengupas beberapa fakta pertanian di Indonesia.

1. Petani beras di Indonesia sebagian besar adalah petani subsisten bukan petani komersil 

 
Pertanian subsisten adalah pertanian swasembada (self-sufficiency) di mana petani fokus pada usaha membudidayakan bahan pangan dalam jumlah yang cukup untuk mereka sendiri dan keluarga. Ciri khas pertanian subsisten adalah memiliki berbagai variasi tanaman dan hewan ternak untuk dimakan, terkadang juga serat untuk pakaian dan bahan bangunan. Keputusan mengenai tanaman apa yang akan ditanam biasanya bergantung pada apa yang ingin keluarga tersebut makan pada tahun yang akan datang, juga mempertimbangkan harga pasar jika dirasakan terlalu mahal dan mereka memilih menanamnya sendiri. Meski dikatakan mengutamakan swasembada diri sendiri dan keluarga, sebagian besar petani subsisten juga sedikit memperdagangkan hasil pertanian mereka (secara barter maupun uang) demi barang-barang yang tidak terlalu berpengaruh bagi kelangsungan hidup mereka dan yang tidak bisa dihasilkan di lahan, seperti garam, sepeda, dan sebagainya. Kebanyakan petani subsisten saat ini hidup di negara berkembang. Banyak petani subsisten menanam tanaman pertanian alternatif dan memiliki kemampuan bertani yang tidak ditemukan di metode pertanian maju.

Contoh, seorang petani beras, akan menjual beras yang dipunya setelah kebutuhan berasnya sudah terpenuhi. Akibatnya jumlah komoditas yang tersedia di pasar tergantung sama surplusnya petani tersebut. Permasalahnya petani tersebut tidak peduli dengan jumlah produksinya yang penting kebutuhannya terpenuhi. Berbeda dengan petani komersil yang akan mengusahakan pertaniannya untuk keuntungan.


2. Indonesia krisis regenerasi petani muda


Generasi muda Indonesia makin banyak yang menjauhi profesi sebagai petani, bahkan di kalangan mahasiswa lulusan fakultas pertanian itu sendiri. Salah satu gejala yang terlihat di banyak daerah adalah tingkat urbanisasi yang tinggi dan otomatis menganaktirikan bidang pertanian di desa.

Petani dianggap bukan profesi yang menjamin finansial di tengah naiknya harga-harga kebutuhan hidup, apalagi untuk investasi masa depan: biaya kuliah, cicilan rumah, pensiun.

Angkatan muda yang emoh mengolah lahan membuat jumlah petani menyusut. Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada 2015, bertajuk “Regenerasi Petani”, mengungkap kondisi yang sama. Ada 96,45 persen petani tanaman pangan di empat lokasi penelitian (Tegal, Kediri, Karawang, dan Bogor) berusia 30 tahun atau lebih, sedangkan 3,55 persennya berumur di bawah 30 tahun, dan 47,57 persen petani tanaman pangan berusia 50 tahun atau lebih.

Keinginan rendah menjadi petani dipengaruhi oleh persepsi responden yang kurang baik atas situasi pertanian saat ini. Mayoritas 42 persen responden menyatakan kondisi pertanian sekarang memprihatinkan, dan sisanya menyatakan biasa saja (30 persen) dan membanggakan (28 persen). Adapun 66,7 persen responden usaha tani hortikultura menyatakan bidang pertanian itu memprihatinkan. Sisanya menyatakan biasa saja (26,7 persen) dan menganggap membanggakan (6,7 persen).

Dalam rilis pers, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dra. Haning Romdiati, M.A menyatakan kondisi minat rendah generasi muda menjalani profesi tani otomatis mengancam kedaulatan produksi pangan Indonesia di masa depan.

Kondisi itu bukan semata karena minimnya tranfer keterampilan pertanian dari orang tua atau masyarakat. Tetapi ada perubahan keluarga, sekolah, sawah, aktivitas non-pertanian, yang justru mengasingkan generasi muda dari lingkungan tempat hidupnya.


3. Rata-rata luas yang digarap petani sempit (petani gurem)


Luas lahan yang dimiliki petani sangatlah kecil, keadaan ini diperparah dengan laju alih fungsi lahan yang tak terbendung. Banyak sekali lahan pertanian produktif yang diubah menjadi lahan untuk peruntukan lain.


4. Penyuluh pertanian

 
Selain kekurangan penyuluh pertanian, ternyata kita juga mengalami masalah lain, yaitu kita butuh regenerasi penyuluh pertanian. Penyuluh pertanian merupakan bagian terpenting karena mereka adalah ujung tombak pelayanan dari pemerintah. Penyuluh pertanian memiliki tugas dan fungsi memberikan penyuluhan kepada petani melalui pendekatan kelompoktani agar pengetahuan, keterampilan maupun sikap petani menjadi lebih baik dalam mengelola usahatani guna meningkatkan kesejahteraannya.

Sumber : 
  • wikipedia
  • tirto.id

Artikel Terkait

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »